Senin, 30 Maret 2009

Manaqib Habib Ali Bin Muhammad Al Habsy

Manaqib Al Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi

Para Habaib, alim ulama dan hadirin yang dimuliakan Allah, Alhamdulillah, di pagi hari ini Allah memberi kita taufik, hidayah dan inayah, sehingga kita dapat menghadiri pertemuan yang mulia ini dalam keadaan sehat wal afiat.
Shalawat serta salam, mari kita haturkan kepada baginda Muhammad, pembuka pintu rahmat, beserta segenap keluarga, sahabat dan mereka yang memperjuangkan syariat hingga hari kiamat.
Hadirin yang dimuliakan Allah, 91 tahun yang lalu Habib Ali wafat, tetapi sampai saat ini dakwah beliau masih hidup dan semakin berkembang luas. Terbukti, berkat beliau kita semua dapat bertemu di tempat ini dengan satu hati yang mengagungkan Allah. Sejak pagi hingga detik ini, lisan, telinga, hati dan seluruh anggota tubuh kita sibuk berdzikir memuliakan Allah. Tak ayal jika saat ini, guyuran rahmat membasahi hati
kita, kerumunan malaikat mengelilingi diri kita dan Allah membangga-banggakan kita di hadapan para malaikat-Nya. Dalam suasana yang penuh berkah ini, tepatlah kiranya jika kami sampaikan sekilas riwayat hidup Habib Ali, sehingga kita dapat lebih mengenal beliau. Semoga apa yang akan kita dengar bersama ini, diberkati dan bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Amin Allahumma Amin.
Hadirin yang dimuliakan Allah, 165 tahun yang lalu, tepatnya pada hari Jumat 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota kecil Hadhramaut, Habib Muhammmad bin Husein Al-Habsyi beserta istrinya tercinta Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, dikaruniai seorang putra yang penuh cahaya.
Ketika mendengar kelahiran beliau, Habib Abdullah bin Husein bin Thohir, seorang waliyullah terkemuka yang merupakan guru Habib Muhammad bin Husein segera berkata, “Wahai Muhammad, namakan putramu Ali, dia akan mewarisi kewalian Habib Ali bin Alwi Kholi’ Qasam, yang salamnya di dalam shalat dijawab langsung oleh Nabi.” Ucapan seorang waliyullah terkemuka ini merupakan sebuah tanda dan petunjuk yang menjelaskan bahwa bayi ini kelak akan menjadi seorang wali besar.
Hari demi hari berlalu, bulan berganti tahun, Habib Ali melewati masa kecilnya di bawah asuhan dua kekasih Allah yang senantiasa berdakwah menyeru manusia ke jalan-Nya. Ketika Habib Ali berusia 7 tahun, Habib Abdullah bin Husein bin Thohir memerintahkan Habib Muhammad untuk berdakwah ke Mekah. Ayah yang penuh cinta ini, tak tega membawa putranya yang baru berusia 7 tahun untuk mengarungi padang sahara yang ganas. Beliau pun meminta istrinya tercinta untuk tetap tinggal di Qasam mengasuh Habib Ali. Kemudian bersama putra-putranya yang lain, Habib Muhammad hijrah ke Mekah dan menetap di sana.
Dengan penuh cinta, Hababah Alawiyah mendidik dan mengasuh Habib Ali. Kedekatan dengan ibu merupakan sebuah karunia yang sangat besar bagi Habib Ali. Beliau selalu memanfaatkan karunia tersebut untuk memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Allah. Pada suatu hari beliau berkata, “Dahulu ketika mempelajari sejarah kehidupan para salaf dan kulihat sesuatu yang menakjubkan, maka segera kukatakan kepada ibuku, “Wahai ibu, hadapkanlah dirimu ke kiblat, tengadahkanlah kedua tanganmu dan berdoalah dengan doa berikut, aku akan mengaminkan doa ibu. Sebab, doa seorang ibu untuk anaknya akan segera terkabul. Katakanlah, “Ya Allah, berilah anakku Ali maqam ini… berilah anakku Ali maqam itu...” Aku pun mengamini doa beliau.
Melihat pertumbuhan Habib Ali yang sangat pesat, ayah beliau memerintahkan Habib Ali pindah ke kota Seiwun bersama ibunya untuk memperdalam dan memperluas cakrawala pengetahuan. Setelah 6 tahun menuntut ilmu di kota Seiwun, saat berusia 17 tahun, Habib Muhammad memerintahkan Habib Ali untuk belajar langsung kepadanya dan kepada beberapa ulama lainnya di kota Mekah. Meskipun merasa berat untuk berpisah dengan ibunya tercinta, Habib Ali segera memenuhi panggilan ayahnya. Sang ibu yang belum pernah berpisah dengan putranya yang saleh itu, merasakan getir perpisahan dengan anaknya.
Ketika buah hatinya sibuk menuntut ilmu di kota Mekah, Hababah Alawiyah selalu berdoa agar ia segera dipertemukan kembali dengan putranya tercinta. Maha Suci Allah, doa sang ibu sekali lagi menampakkan hasil. Allah pun menurunkan keberkahan-Nya kepada Habib Ali, hanya dalam dua tahun, Habib Muhammad telah mengizinkan Habib Ali untuk kembali ke kota Seiwun.
Kedatangan Habib Ali pun disambut penuh cita oleh Hababah Alawiyah, seorang ibu yang selalu merindukan anaknya. Mengenai kedekatan dengan ibunya ini Habib Ali ra pernah berkata: Oh andai saja aku dapat bertemu kembali dengan orang tuaku, maka akan kupersembahkan harta dan diriku kepada mereka. Ketika ibuku masih hidup, aku tidak pernah merasa memiliki uang walau hanya satu dirham, bahkan aku yakini bahwa harta dan segala sesuatu yang kumiliki adalah milik ibuku. Demi Allah, andaikata ibuku ingin menjualku di pasar, maka aku akan mengaku sebagai budaknya dan akan kupenuhi permintaannya. Pada suatu hari Habib Idrus bin Umar dan sejumlah besar wali lainnya mengadakan sebuah majelis di rumah ibuku. Tiba-tiba ibuku dengan kemauannya sendiri berkata, “Wahai hadirin sekalian, aku jadikan kalian sebagai saksi di hadapan Allah, sesungguhnya aku meridhai anakku Ali, saksikanlah bahwa aku ridha kepada anakku Ali, saksikanlah bahwa ia tidak pernah menyalahiku dalam segala hal.” Mendengar ucapan ibuku aku pun bersyukur kepada Allah dan segera berkata kepada mereka, “Saksikanlah keridhaan ibuku kepadaku, sebab kelak di hari kiamat aku akan meminta kalian untuk menjadi saksi.”
Beliau ra berkata, “Amal saleh yang paling penting adalah berbakti kepada kedua orang tua dan menyambung hubungan silaturahim. Ketahuilah, doa kedua orang tua akan segera menembus tujuh lapis langit. Barang siapa masih memiliki kedua orang tua atau salah satu dari keduanya, maka hendaknya dia berusaha untuk berbakti kepada mereka. Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seseorang daripada berbakti kepada kedua orang tua dan silaturahim. Dengan berbakti kepada kedua orang tua, seseorang akan mencapai derajat kedekatan dengan Allah dan Rasul-Nya yang tidak dapat dicapai dengan amalan lainnya. Ketahuilah, berbakti kepada kedua orang tua akan menyelamatkan seseorang dari suul khotimah….
Saudaraku, barang siapa berbuat baik kepada kedua orang tuanya, maka dia adalah seorang yang beruntung di dunia dan akhirat. Dan barang siapa memperlakukan kedua orang tuanya dengan buruk, maka dia adalah seorang yang merugi di dunia dan akhirat. Untuk memperoleh keridhaan kedua orang tuanya, seseorang hendaknya rela menjual apa saja, bahkan kalau perlu pakaian yang dia kenakan.”
Hadirin yang dimuliakan Allah, dalam usia yang masih sangat muda, 19 tahun, Habib Ali telah dinyatakan lulus oleh ayahnya yang merupakan seorang mufti di Mekah dan Madinah. Meski masih muda, Habib Ali telah menyelami samudera ilmu, memperoleh tempat terhormat dan menjadi pusat perhatian masyarakat. Dengan bekal yang luar biasa ini, beliau segera berdakwah meneruskan jejak ayah bundanya. Masyarakat pun menyambut dengan baik ajakan beliau. Mereka menemukan kedamaian dan ketentraman. Bahkan semasa hidup beliau, masyarakat kota Seiwun seperti kakak beradik yang hidup rukun dengan penuh cinta. Di antara mereka tidak ada permusuhan, iri dengki dan dendam. Beliau adalah seorang pemimpin yang disegani, guru yang dicintai dan ayah yang dikasihi. Namun, tidak ada seorang pun yang hidup kekal di dunia ini, pada waktu zhuhur, hari minggu 20 Rabiuts Tsani 1333 H, beliau meninggalkan dunia yang fana ini menuju rahmat Allah SWT.
Sumber http://almuhibbin-almuhibbinsalaf.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar